“Pasal 7A UUD NRI 1945 secara tegas menyebutkan dasar hukum untuk pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di tengah masa jabatannya,” ujar Bayu. Ia mengutip langsung isi pasal tersebut yang menyatakan bahwa pemakzulan hanya dapat dilakukan jika terbukti melakukan pelanggaran berat seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden.
Secara teoritis dan yuridis, kata Bayu, siapa pun yang menjabat sebagai Presiden maupun Wakil Presiden – termasuk Gibran – bisa diberhentikan apabila memenuhi unsur pelanggaran yang telah disebutkan. Namun, ia menekankan bahwa hingga kini tidak ada bukti hukum yang kuat ataupun proses hukum yang berjalan terhadap Gibran.
“Maka, wacana pemakzulan dalam kondisi saat ini lebih bernuansa politis daripada konstitusional,” tegasnya.
Lebih lanjut, Bayu menyebut bahwa sejarah demokrasi global menunjukkan pemakzulan Wakil Presiden adalah fenomena yang sangat langka. Yang lebih sering terjadi, katanya, adalah pengunduran diri, reshuffle politik, atau pergantian karena Presiden yang dimakzulkan lebih dahulu.
Ia juga mengingatkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia adalah satu paket pilihan rakyat dalam sistem pemilu langsung. “Pemakzulan terhadap Wakil Presiden tanpa dasar hukum yang kuat bukan hanya mencoreng nama pribadi, tetapi juga meruntuhkan legitimasi pasangan yang dipilih rakyat secara sah,” ucap Bayu.
Bayu juga mempertanyakan motivasi di balik wacana pemakzulan tersebut. “Apakah dorongan terhadap wacana ini murni demi kepentingan konstitusional dan bangsa? Atau ada ambisi kelompok tertentu yang tidak mampu menerima perubahan arah politik, terutama ketika anak muda mulai diberi ruang untuk tampil?” tuturnya